Sekali-sekali menulis tentang sesuatu
yang ada pentingnya nggak apa-apa kan ya? Hehehe… Maklum, kebiasaan
nulis hal-hal yang nggak penting, jadi sekalinya pengen nulis yang agak
penting malah ragu-ragu.
Okay… kali ini temanya adalah tentang bagaimana menjadi seorang notaris. Hmm… mulai dari mana ya?
Mendingan gue mulainya dari mengambil
keputusan apakah kita memang benar-benar sudah siap jadi notaris. Yang
harus diperhatikan adalah fakta bahwa menjadi seorang notaris memiliki
arti bahwa kita harus ikhlas menjalani kehidupan yang relatif damai.
Kenapa gue bilang faktor ini harus
diperhatikan? Karena dibandingkan dengan menjadi hakim, jaksa,
pengacara, staf legal perusahaan, atau pekerjaan lainnya di bidang
hukum, pekerjaan seorang notaris memang terhitung sangat damai. Notaris
nggak akan bertemu dengan konflik-konflik yang biasa ditemui dalam
pekerjaan lainnya di bidang hukum.
Jangan harap seorang notaris akan
terlibat dalam debat yang seru, penyelidikan-penyelidikan yang penuh
misteri dan lain-lain sebagainya. Tugas notaris adalah menyeimbangkan
kepentingan semua pihak yang ingin membuat perjanjian supaya di masa
depan nggak terjadi pertikaian antar pihak. Jadi nggak heran kalau
pekerjaan notaris harus dijalani dengan semangat perdamaian dan bukan
semangat ingin memenangkan salah satu pihak. Semua pihak harus menang,
dan notaris adalah orang yang harus meyakinkan bahwa hal itu memang
tercapai.
Selain ikhlas untuk hidup damai, notaris
juga harus ikhlas untuk hidup dengan menjaga nama baik diri sendiri.
Kalau sudah tentang jalan hidup, menjadi notaris sebenarnya hampir nggak
ada bedanya sama kyai/pendeta/pastur. Satu-satunya pembeda adalah kalau
kyai/pendeta/pastur berurusan dengan hukum Tuhan, notaris berurusan
dengan hukum dunia. Tapi kalau tentang ke-alim-an, kehalusan budi, dan
lain-lain sebagainya, notaris udah hampir nggak ada bedanya sama pemuka
agama. Paling juga beda yang lain adalah notaris ada pensiunnya, pemuka
agama nggak ada pensiunnya. Hehehe…
Jadi kalo masih demen mabok-mabokan,
ngobat, clubbing, main pelacur/gigolo, jangan jadi notaris deh, karena
organisasi notaris masih ketat banget tentang hal-hal seperti itu.
Bisa-bisa baru aja diambil sumpahnya, besoknya udah langsung dicabut
ijin prakteknya karena ketahuan mabok-mabokan pas lagi merayakan sudah
diangkat jadi notaris. Capek deh…
Nah… kalo sudah ikhlas lahir batin jadi
notaris, baru deh memulai langkah yang kedua, yaitu kuliah di Program
Magister Kenotariatan selama 2 tahun untuk mendapatkan gelar MKn. Kenapa
perlu gelar itu? Karena untuk bisa diangkat menjadi notaris, seseorang
harus terlebih dahulu memegang gelar Sarjana Hukum dan Magister
Kenotariatan.
Yang susah dari kuliah MKn adalah,
jurusan ini hanya disediakan oleh 12 universitas di Indonesia, dan 11
diantaranya adalah universitas negeri. Cuman satu yang universitas
swasta, kalo gossipnya nggak salah, di Universitas Surabaya. Yang
lainnya sih yang gue tahu adalah UI, UnDip, UnAir, dan UniBraw (maklum
ya kalo gue cuman tahu yang di pulau Jawa doang, hehehe…)
Karena gue kuliahnya di UI, jadi gue
cuman ngerti prosesnya yang ada di situ, mungkin kalo di tempat lain
bisa aja ada perbedaan sedikit-sedikit.
Oh iya, sebagai catatan, kalau ada yang
hanya ingin mendapatkan gelar Master dan belum memutuskan ingin
berkonsentrasi di profesi apa di bidang hukum, jadi bingung memilih
antara Magister Hukum dan Magister Kenotariatan, gue sarankan kalian
memilih untuk mengambil Magister Kenotariatan. Karena MKn sama bobotnya
dengan MH tapi seorang MKn bisa menjadi notaris, sedangkan MH nggak bisa
jadi notaris. Jadi daripada kalo ntar tiba-tiba ingin banting setir
ganti profesi jadi Notaris terpaksa kuliah 2 kali, mendingan dari awal
sudah ngambil MKn. Kalau sebelum tahun 2001, memang namanya bukan
Magister Kenotariatan, tapi CN (gue lupa kepanjangannya) dan pendidikan
CN itu memang nggak sebobot dengan MH, karena MH adalah pendidikan
strata 2 sedangkan CN adalah pendidikan profesi dan bukan akademik.
Lanjut tentang kuliah. Kalau di UI
biasanya pendaftaran dibuka di bulan April/Mei dan ditutup di bulan
Juni/Juli. Tempat pengambilan formulir pendaftaran ada di Gedung Pasca
Sarjana UI Salemba (gedungnya warna merah muda di dekat fakultas
kedokteran gigi). Syarat pendaftaran cuma standar aja, siapin foto, foto
copy ijazah S1 hukum (jangan lupa dilegalisir), foto copy KTP, pokoknya
yang biasa diminta kalo daftar-daftar begitulah. IPK S1 juga nggak
terlalu diperhatikan kok, selama nggak terlalu tragis ya IPK-nya.
(revisi tanggal 19 Desember 2009: Sekarang pendaftaran untuk masuk S2 di UI dilakukan secara on-line. Silahkan klikformasi selengkapnya)
Harga formulirnya waktu gue daftar thn
2006 adalah 250ribu, jadi kalaupun naik ya nggak jauh-jauhlah dari
segitu. Setelah bayar n daftar, langsung dapat kartu ujian yang nantinya
juga sekaligus dipakai untuk registrasi ulang kalau ternyata lulus
ujian masuk.
Setelah daftar, trus ikut ujian saringan
masuk. Denger-denger sekarang ujian masuk cuman terdiri dari ujian
matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Tes Potensi Akademik
(TPA). Yang TPA tuh seperti psikotes gitu, jadi nggak usah belajar
gila-gila banget. Kalo mau belajar serius, mending konsen sama
matematika, bhs Indonesia, n bhs Inggris. Waktu gue masuk sih ada ujian
hari ke-2 yang isinya ujian hukum perdata, hukum perusahaan, dan hukum
agraria, tapi trus sejak tahun 2008 udah nggak ada lagi ujian itu.
Oh iya, ujian saringan masuknya diadakan
di balairung utama UI Depok. Kalau bisa ujiannya minta diantar ya,
karena rame banget yang ikut ujian. Ramenya karena yang ujian adalah
semua orang yang pengen masuk semua jurusan di S2 UI, makanya tumplek
blek semua di hari itu. Kalau bawa mobil sendiri, ntar malah bingung
parkirnya.