Rabu, 07 Juni 2017

menjadi notaris

Sekali-sekali menulis tentang sesuatu yang ada pentingnya nggak apa-apa kan ya? Hehehe… Maklum, kebiasaan nulis hal-hal yang nggak penting, jadi sekalinya pengen nulis yang agak penting malah ragu-ragu.
Okay… kali ini temanya adalah tentang bagaimana menjadi seorang notaris. Hmm… mulai dari mana ya?
Mendingan gue mulainya dari mengambil keputusan apakah kita memang benar-benar sudah siap jadi notaris. Yang harus diperhatikan adalah fakta bahwa menjadi seorang notaris memiliki arti bahwa kita harus ikhlas menjalani kehidupan yang relatif damai.
Kenapa gue bilang faktor ini harus diperhatikan? Karena dibandingkan dengan menjadi hakim, jaksa, pengacara, staf legal perusahaan, atau pekerjaan lainnya di bidang hukum, pekerjaan seorang notaris memang terhitung sangat damai. Notaris nggak akan bertemu dengan konflik-konflik yang biasa ditemui dalam pekerjaan lainnya di bidang hukum.
Jangan harap seorang notaris akan terlibat dalam debat yang seru, penyelidikan-penyelidikan yang penuh misteri dan lain-lain sebagainya. Tugas notaris adalah menyeimbangkan kepentingan semua pihak yang ingin membuat perjanjian supaya di masa depan nggak terjadi pertikaian antar pihak. Jadi nggak heran kalau pekerjaan notaris harus dijalani dengan semangat perdamaian dan bukan semangat ingin memenangkan salah satu pihak. Semua pihak harus menang, dan notaris adalah orang yang harus meyakinkan bahwa hal itu memang tercapai.
Selain ikhlas untuk hidup damai, notaris juga harus ikhlas untuk hidup dengan menjaga nama baik diri sendiri. Kalau sudah tentang jalan hidup, menjadi notaris sebenarnya hampir nggak ada bedanya sama kyai/pendeta/pastur. Satu-satunya pembeda adalah kalau kyai/pendeta/pastur berurusan dengan hukum Tuhan, notaris berurusan dengan hukum dunia. Tapi kalau tentang ke-alim-an, kehalusan budi, dan lain-lain sebagainya, notaris udah hampir nggak ada bedanya sama pemuka agama. Paling juga beda yang lain adalah notaris ada pensiunnya, pemuka agama nggak ada pensiunnya.  Hehehe…
Jadi kalo masih demen mabok-mabokan, ngobat, clubbing, main pelacur/gigolo, jangan jadi notaris deh, karena organisasi notaris masih ketat banget tentang hal-hal seperti itu. Bisa-bisa baru aja diambil sumpahnya, besoknya udah langsung dicabut ijin prakteknya karena ketahuan mabok-mabokan pas lagi merayakan sudah diangkat jadi notaris. Capek deh…
Nah… kalo sudah ikhlas lahir batin jadi notaris, baru deh memulai langkah yang kedua, yaitu kuliah di Program Magister Kenotariatan selama 2 tahun untuk mendapatkan gelar MKn. Kenapa perlu gelar itu? Karena untuk bisa diangkat menjadi notaris, seseorang harus terlebih dahulu memegang gelar Sarjana Hukum dan Magister Kenotariatan.
Yang susah dari kuliah MKn adalah, jurusan ini hanya disediakan oleh 12 universitas di Indonesia, dan 11 diantaranya adalah universitas negeri. Cuman satu yang universitas swasta, kalo gossipnya nggak salah, di Universitas Surabaya. Yang lainnya sih yang gue tahu adalah UI, UnDip, UnAir, dan UniBraw (maklum ya kalo gue cuman tahu yang di pulau Jawa doang, hehehe…)
Karena gue kuliahnya di UI, jadi gue cuman ngerti prosesnya yang ada di situ, mungkin kalo di tempat lain bisa aja ada perbedaan sedikit-sedikit.
Oh iya, sebagai catatan, kalau ada yang hanya ingin mendapatkan gelar Master dan belum memutuskan ingin berkonsentrasi di profesi apa di bidang hukum, jadi bingung memilih antara Magister Hukum dan Magister Kenotariatan, gue sarankan kalian memilih untuk mengambil Magister Kenotariatan. Karena MKn sama bobotnya dengan MH tapi seorang MKn bisa menjadi notaris, sedangkan MH nggak bisa jadi notaris. Jadi daripada kalo ntar tiba-tiba ingin banting setir ganti profesi jadi Notaris terpaksa kuliah 2 kali, mendingan dari awal sudah ngambil MKn. Kalau sebelum tahun 2001, memang namanya bukan Magister Kenotariatan, tapi CN (gue lupa kepanjangannya) dan pendidikan CN itu memang nggak sebobot dengan MH, karena MH adalah pendidikan strata 2 sedangkan CN adalah pendidikan profesi dan bukan akademik.
Lanjut tentang kuliah. Kalau di UI biasanya pendaftaran dibuka di bulan April/Mei dan ditutup di bulan Juni/Juli. Tempat pengambilan formulir pendaftaran ada di Gedung Pasca Sarjana UI Salemba (gedungnya warna merah muda di dekat fakultas kedokteran gigi). Syarat pendaftaran cuma standar aja, siapin foto, foto copy ijazah S1 hukum (jangan lupa dilegalisir), foto copy KTP, pokoknya yang biasa diminta kalo daftar-daftar begitulah. IPK S1 juga nggak terlalu diperhatikan kok, selama nggak terlalu tragis ya IPK-nya.
(revisi tanggal 19 Desember 2009: Sekarang pendaftaran untuk masuk S2 di UI dilakukan secara on-line. Silahkan klikformasi selengkapnya)
Harga formulirnya waktu gue daftar thn 2006 adalah 250ribu, jadi kalaupun naik ya nggak jauh-jauhlah dari segitu. Setelah bayar n daftar, langsung dapat kartu ujian yang nantinya juga sekaligus dipakai untuk registrasi ulang kalau ternyata lulus ujian masuk.
Setelah daftar, trus ikut ujian saringan masuk. Denger-denger sekarang ujian masuk cuman terdiri dari ujian matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Tes Potensi Akademik (TPA). Yang TPA tuh seperti psikotes gitu, jadi nggak usah belajar gila-gila banget. Kalo mau belajar serius, mending konsen sama matematika, bhs Indonesia, n bhs Inggris. Waktu gue masuk sih ada ujian hari ke-2 yang isinya ujian hukum perdata, hukum perusahaan, dan hukum agraria, tapi trus sejak tahun 2008 udah nggak ada lagi ujian itu.
Oh iya, ujian saringan masuknya diadakan di balairung utama UI Depok. Kalau bisa ujiannya minta diantar ya, karena rame banget yang ikut ujian. Ramenya karena yang ujian adalah semua orang yang pengen masuk semua jurusan di S2 UI, makanya tumplek blek semua di hari itu. Kalau bawa mobil sendiri, ntar malah bingung parkirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar